Dalam
upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di
segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui
DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang
Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun
2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan
pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak
tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang
Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan
desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan
globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta
didik.
DEMOKRATISASI DAN DESENTRALISASI (OTONOMI DAERAH)
Tuntutan
reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada
dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah
(otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan
memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah
pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50
tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar
kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi.
Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan
paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.
Konsep
demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU
Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal
4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa
(ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat,
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara
tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat)
dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15
tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan
pemerintah daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar
adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah
(pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2). Dengan
adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan
masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama
antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46
ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah
bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur
dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 –
("Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional”) – (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana
pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen
yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49
ayat 2).
Sumber
pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan,
kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi
tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah,
dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka
pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan,
efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2).
Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun
tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di
tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu
menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan
kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu
pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi
melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan
tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan
lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk
mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang
berbasis keunggulan lokal.
Satuan
pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru
pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan
potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan
komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis
keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang
memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan
lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki
dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam
bidang tersebut.
Dengan
demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan
bahkan dapat tercipta secara otomatis. Selain itu pemerintah (pusat) dan
pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi
satuan pendidikanm yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal
ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui
penyediaan tenaga-tenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia
satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di
Indonesia.
Untuk
menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka pemerintah
(pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan
dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat
2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik
dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau
guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa
12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja
secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya
diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan
pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)). Selain itu pemerintah
(pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan
mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal
(pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan
adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan
klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.
PERAN SERTA MASYARAKAT
Demokratisasi
penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat
dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi
peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat
berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan
(pasal 54 ayat 2). Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan
pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen
dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55
ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber
dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah
dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan
yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana,
dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan
pemerintah daerah.
Partisipasi
masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan
dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri
yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap
pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri
yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah,
serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan
25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan,
dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai
hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu
pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi
tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).
TANTANGAN GLOBALISASI
Dalam
menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka
sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat)
maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk
suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan
dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah
maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat
1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan
pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Badan hukum pendidikan
yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu,
harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk
memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3).
Dengan
adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan
bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan
dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum
pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada
penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang
bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global. Selain itu
diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan
untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur
pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat)
dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas
publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang
bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama
penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara
transparan.
Dalam
menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan
oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang
diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau
lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan
lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam
mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi,
maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai
paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat
diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang
berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat
yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler
(pasal 31 ayat 1 dan 2).
KESETARAAN DAN KESEIMBANGAN
Paradigma
baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep
kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan "plat merah” atau "plat
kuning”; semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem
yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan
pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan
satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri
khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan
disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen
Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan
pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).
Selain
itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3). Dengan demikian UU
Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan
amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) ,
dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
JALUR PENDIDIKAN
Perubahan
jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3
jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan
perubahan mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan
informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah
diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan
ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Jalur formal terdiri dari
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal
14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan, dan khusus (pasal 15). Pendidikan formal dapat diwujudkan
dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah
(pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).
Pendidikan
dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama
(SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau
bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian
istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP. Sebelum memasuki
jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan
pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk
mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak
usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul
athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok
bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).
Pendidikan
menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas
pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah
menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan
(SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang
sederajad (pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA
berganti lagi menjadi SMA. Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan
setelah pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma,
sarjana, magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem
terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat,
dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi
(pasal 20 ayat 1- 3).
Perguruan tinggi juga dapat
memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program
pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi perguruan tinggi
yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan
(doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan
berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni
(pasal 22). Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan
masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau
tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam
sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU
Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).
Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2).
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan
kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan
pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis
taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal
dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah
melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard
nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6). Sedangkan pendidikan informal
adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama
dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).